730
Kata dan Dia
Langit-langit
kamarku tak pernah terlihat seluas, setinggi dan sesendu ini sebelumnya.
Kasur yang sedang menopang tubuhku
sekarang tak pernah terasa sesakit,
sedingin, dan serumit ini sebelumnya.
Aku benci
hening. Jangan khawatir, karena aku juga benci keramaian. Yang aku benci dari
hening adalah ia dan segala kekuatan
mistisnya dalam menteleportasi masa lalu. Dan kau, my old bestfriend. Aku benci menjadi satu-satunya orang yang
mengingat masa lalu. Melihat kita di masa lalu, dan selalu menjadi satu-satunya
orang yang memimpikan cerita indah di antara kenangan itu. Untuk pertama
kalinya dalam hidupku, aku berharap untuk salah.
Aku
menghela nafas dan berbalik memeluk bantal dengan erat didada, berharap
perasaan ini ikut terhimpit dan lenyap. Ini sudah yang kesekian kalinya, Romeo. Apa kau tak bosan bermain peran
dalam segala film yang aku buat dalam pikiranku? Karena aku sudah lelah, sampai
pada titik aku ingin berteriak di depan wajahmu untuk enyah, pergi, hilang,
terserah kemana saja. Dan kau menolak.
Aku ingat
hari itu, sama seperti hari-hari menyenangkan lain, yang membedakannya hanya
kerangka waktu. It was one of so many memorable
days we’ve made. Saat itu sore hari, aku menggiring sepeda roda dua baruku
ke rumahmu, kita seperti saling berjanji dalam hati, dan kau berjanji untuk
mengajariku mengendarai sepeda roda dua, level paling sulit untuk anak umur 6
tahun, dan kau sudah menguasainya. Saat aku sampai kau sedang bermanuver di
halaman rumahmu yang bergelombang, mengenakan t-shirt power ranger kesukaanmu, kau
melihatku dan tersenyum.
“Mulai dari
sini!” kau bilang sambil mengayuh sepedamu ke teras depan yang lebih tinggi,
pinggiran teras itu di beri landasan semen yang dibentuk miring untuk
memudahkan keluar-masuknya motor. “Lihat ya!” kau berseru dan meluncur dari
sana dengan cepat, terus mengayuh tanpa terjatuh mengelilingi halaman rumahmu
yang bergelombang, kemudian kembali menaiki teras, berbalik dan memerkan senyum
lebarmu.
“Whoaaa!” aku
takjub, dan dengan tidak sabar menggiring sepedaku ke teras, tanpa diminta kau
bergeser untuk memberiku ruang, setelah aku sudah siap di posisiku, tanpa
aba-aba kitapun meluncur. Bedanya, kau melaju kencang dan terus mengayuh,
sedangkan aku melaju kencang dan harus berhenti karena tanganku yang bergetar
karena tak bisa menahan keseimbangan.
“Lagi,
lagi!!” kau menyuruhku untuk terus mencoba. Sampai pada latihanku yang kesekian
hari itu, aku bisa menyusulmu di sudut terjauh halaman rumahmu yang
bergelombang. Aku tak bisa berhenti untuk terus mengulanginya, walau harus menggiring
sepeda ke teras setiap akan mulai. Kali ini aku akan menyusulmu lagi, tanpa
tangan yang bergetar. Pasti. Aku kayuh pedal dalam-dalam dan meluncur,
menikmati terpaan angin sore di wajahku, dengan gesit menghindari
undakan-undakan kecil ditanah. Aku terlalu berkonsentrasi pada aksiku kali ini
dan tidak sadar kalau kau datang ke arahku, sepeda kita bertemu, dengan keras
dan sedikit menyakitkan.
Latihan
untuk hari itu selesai. Kau meringis kesakitan saat ibumu mengobati luka di
lututmu. Aku hanya bisa melihat dan merasa bersalah, bahkan hingga sekarang.
Setelah ibumu selesai dengan tugasnya, kau menarik tanganku untuk kembali ke
halaman rumahmu yang bergelombang dan melanjutkan latihanku, dengan senyuman
yang sama. Latihan untuk hari itu selesai, Romeo.
Kau,
halaman rumahmu yang bergelombang, nintendo, komik monica, pokemon, power
rangers, dan kenangan. Terima kasih, my
old bestfriend. Aku tak menyangkal bila ini akan terdengar aneh, tapi bisakah
kita mengulanginya lagi? Dengan senyum dan perasaan yang sama, dengan kita yang sekarang?
My old bestfriend, bisakah kita minta pada dunia untuk
jadi pengecualian, untuk tidak mengikuti arusnya? Karena ternyata menjadi
seperti kita, menjadi aku yang sekarang adalah jebakan. Aku rindu saat-saat di
mana naif adalah teman bermain yang paling setia, atau di saat belum ada batas
tembok kasat mata selebar jagat raya untuk menggenggam tanganmu. Aku tidak tau
harus menyalahkan siapa, Tuhan, dunia, atau aku yang overdosis ego. Dan
sungguh, aku butuh penguat untuk terus menyangkal.
Aku menarik
selimut hingga menutupi seluruh tubuhku, berharap monster masa lalu itu tidak
mengganggu. Tapi aku tidak bisa menolaknya saat ia menggoda, memaksaku
mengingatmu. Menjadi pihak yang kalah.
“Please, don’t be in love with someone else.”
“Please, don’t have somebody waiting
for you.” **
Karena aku akan melakukan hal yang sama.
Karena aku hanya menginginkanmu. Kau, dan hanya kau. Karena aku hampir
melupakan semua kenangan, kecual kau. Karena aku percaya Tuhan membuat plot
yang akan memperjelas benang merah ini. Walau aku tak begitu paham akan Rules of attraction, aku harap
mendambakanmu bukanlah salah satu pelanggarannya.
Aku benci cinta. Ia dan segala bentuk klisenya yang
membosankan.
Aku benci cinta. Ia dan pesta topengnya yang bermelodikan
ironi.
Oh, betapa aku sangat membenci cinta. Kecuali kau.
Aku gadis beruntung dengan pikiran kolotnya.
~*~
**Taylor Swift - Enchanted
A/n: sebuah cerita akan terasa lebih menyeramkan jika ditulis berdasarkan kisah nyata.
Label: [Aho] Diary, writing