personal links: facebook twitter




information
Invincible One!
Hi, My name is Yoan, but I'd rather called Mirai in cyber world I am an English Literature student at one of not-so-prestige university in Indonesia. I like almost everything, especially listening to music, writing and well, procrastinating. I have a tendency to be introvert, but if I found you interesting enough, I'd probably transform into super extrovert. This blog contains all my ramblings, thoughts, perspectives and some meaningless writing. From Mars With Love -Mirai-

September 2010 Maret 2011 Mei 2011 Juli 2011 Januari 2012 April 2012 Mei 2012

I Write My History.

archives

links

Hi fella 麗 sweet and bitter of love 愛 F I R E F L Y


"Please rest a moment in the shades of my monotonous life."



title:[FF] [KUROSHITSUJI] AWAKENING
0 Comments:
Post a Comment

7:42 PM
6 Apr 2012

Warning: standard warning apllied.
Rating: T
Genre: AU, adventure, mystery, friendship, mungkin romance jugak.
copyright: Kuroshitsuji (c) Yana Toboso.
Author’s note di bawah =w=)

Chapter 1: Cyber Avatar

Dinding ruang kelas itu bermandi sinar jingga matahari sore, meledakkan setiap jengkalnya dengan semburat siluet di kursi, meja, tirai, dua orang yang berhadapan. Sudah lewat satu jam sejak bel panjang pulang sekolah berbunyi , dan sudah lewat 15 menit sejak murid terakhir meninggalkan kelas, mereka berdua masih meregang diam. Hanya terdengar satu notasi yang diketuk berulang-ulang, bahkan volumenya mengalahkan suara jarum jam yang sedang berdansa waltz.

Ba-dump Ba-dump Ba-dump Ba-dump

“Ciel... aku menyukaimu!”

Tatapannya dingin. Masih dan selalu. Tanpa ekspektasi pun harinya akan selalu menyajikan hidangan yang sama. Apa yang lebih menyiksa daripada melahap lelucon basi?

Satu-satunya yang mencairkan tatapan dingin itu adalah sebuah helaan napas panjang. Betapa dia tidak tahan lagi untuk segera menyerah.

“Ciel?”

“Uhh... Siapa nama mu tadi?”

“Gabrielle.”

“Ya, maafkan aku, tapi aku mau pulang.”

“Tunggu! Jadi jawabanmu apa?”

Ciel menatap gadis di depannya lekat-lekat, rambut ikal sewarna madu yang di gerai begitu saja, poninya ditata rapi membingkai wajah yang baru didempul ulang beberapa menit lalu, mata bulat ber-kontak lens biru, bando berpita renda menghiasi puncak kepalanya, dia gadis ke-16 untuk bulan ini dan yang kesekian untuk semester ini. Oh, dunia.

“Apa kau sudah punya seseorang yang kau sukai?” tanya Gabrielle malu-malu, matanya mengintip dari sela poni. 

“Kira-kira begitu.”

“... tidak apa-apa, aku mau jadi pacar simpanan mu!”

“Itu tidak lucu.”

“Umm?”

“But, you know what?” Ciel tersenyum manis. “ We’re the same.”

“Benarkah?”

“Yeah, because I love myself too.” Gabrielle terlihat sangat terkejut dengan ucapan itu. “Case closed. Kau sudah membuang-buang waktu butlerku. Sampai jumpa!” Pemuda tanggung itu menggeleng pasrah dan berjalan keluar kelas.

“Ciel, tunggu!!”

Ia berhenti, mata gletsernya terpancang pada Gabrielle.  “Was that doesn’t clear enough for you? You’re rejected.”  Sambungnya datar.

“Kenapa?!”        

Ciel tersenyum. “Kau semestinya harus lebih sering mendandani pikiranmu juga.” dia sudah akan beranjak. “Kau membosankan.”

“Tapi—”

“Bye!” kali ini dia benar-benar tidak akan berbalik, tidak akan, walau gadis itu berubah menjadi Mystique sambil melambai-lambaikan dvd game Skyrim dan Final Fantasy versus 13. Well, mungkin Ciel bisa berubah pikiran, tapi dia benar-benar tidak peduli sekarang. Pemuda tampan dengan rambut biru-keabuan itu masih bisa mendengar sisa-sisa suara gadis manis tadi meneriakkan namanya saat dia berbelok di koridor. Namun dia justru mempercepat langkah, sudah banyak waktu yang terbunuh sia-sia sore ini.     

Tepat di depan gerbang sekolah, bertengger sebuah White Chrysler 300 Limousine mengkilap, di dekatnya berdiri seorang butler dengan sikap sempurna. Ciel menggeram pelan melihat pemandangan itu dan berjalan mendekat dengan kesal.

“Serius, Tanaka?” cetus Ciel setelah sampai di hadapan butlernya. “Kau mau membuatku terlihat kampungan? Kemana SLS AMG yang biasa?” ceracau pemuda itu kalap, mendadak citra pangeran es-nya meleleh. Walau sudah tidak ada lagi murid yang berkeliaran di sana, tetap saja, dia merasa dipermalukan.

Butler yang disebutnya sebagai Tanaka itu membungkuk dengan tangan kanan di dada kiri, “I deeply apologize, Young Master. Delahaye 165 Cabriolate dan Mercedes Benz SLS AMG sedang dalam perjalanan untuk acara Car Exhibit di Scotland selama seminggu kedepan, sedangkan Ford Focus sedang digunakan oleh Tuan besar.” Jelas sang butler.

Mata safir itu membulat seketika. “Apa?! Maksudmu selama seminggu kedepan aku harus naik benda norak ini kesekolah?” Sahut Ciel takjub.

“I’m afraid, yes, Young Master.” Ujar Tanaka sambil membuka pintu Limo mewah itu, mempersilahkan Tuan Mudanya masuk.

“Kenapa bukan ayah saja yang memakai benda ini?!” Ciel menggeram frustasi. “Terserah! Aku naik sepeda besok!” Kemudian ia mengeluarkan earphone dan jaket hoodie dari tas sebelum melemparkan tasnya ke dalam Limo dan berbalik meninggalkan Sang Butler.

“Tuan Muda?!” panggil Tanaka terheran-heran.

Ciel berhenti untuk mengenakan jaket, kemudian mengeluarkan ipod touch-nya,“Aku mau jalan-jalan sebentar. Kau pulanglah, pastikan ayah tidak mengirim orang aneh untuk mengawasiku.”  Ciel menggerutu seraya menghubungkan earphone pada port yang tersedia. Perhatiannya kembali pada Sang Butler, lalu tersenyum, “Sampai jumpa, Tanaka.” 

Tanaka sudah akan memprotes keputusan tiba-tiba Ciel tersebut, namun dia urungkan niatnya, lantas dia membungkuk menghadap punggung Tuan Mudanya yang sudah berjalan menjauh. “Yes, Young Master.” kemudian kembali pada posisi sempurna. “ Pastikan anda tidak melewatkan makan malam.” ia benamkan kalimat itu bersama helaan nafas . Dari kejauhan tampak Ciel mengacungkan jempol kiri tanpa berbalik, hal itu membuat Tanaka agak lega, walau dia sedikit takjub Ciel bisa mendengar ucapannya dari jarak 5 meter.

Tanaka masih memperhatikan Tuan Mudanya yang sedang menyumbat telinga dengan earphone di kejauhan, sampai bayangan itu menciut pergi di kelokan. Tanaka masih memikirkan sebuah alasan.   

~*~

Ia sedang ingin berandai-andai. Karena langit sore itu sangat serasi dengan bumi yang berselimut guguran daun mapple yang ia pijak sekarang. Karena sandaran bangku taman tak pernah senyaman itu sebelumnya. Karena sekarang pikirannya bisa beristirahat tanpa harus tidur dulu, dan karena perasaannya telah dipukul telak oleh gelak tawa anak-anak yang sedang bermain di bak pasir. Ciel hampir lupa sensasi ini pernah ada.

Ia sedang berandai-andai. Andai saja hidupnya mengalami distorsi seindah ini. Andai partikel-partikel yang menyusun cerita hidupnya bermutasi seindah ini. Andai ia bisa menikmati hidupnya sebebas ini. Andai kehangatan ini bisa ia bawa pulang dan ia tunjukkan pada orang tuanya. Andai keindahan ini bisa ia rekatkan pada dinding kamar memorinya. Andai Waktu mengambil cuti dan istirahat di kursi statis sejenak agar dia bisa menikmati momen ini lebih lama. Oh, betapa dia benci duel ekspektasi dan realita ini.

Hentakan musik masih merayap naik melalui serat kabel yang terhubung pada ipod silver itu. Menabuh gendang telinganya dengan lembut, menampar kesadarannya dengan lirik-lirik bersarung tinju.

No matter what I do, when I’m alone at night, I become even unable to understand myself.

Ciel memanyunkan bibir. Merasa agak terhibur dengan kebetulan itu.

I don’t care how things turn out, and I don’t care if I’ll look uncool. I will desperately try to change my future. Even if I’m told that my destiny is immuteable no matter what I do, I myself can still change, and I will prove to you that I can change myself.

Kali ini ia menggigit bibir bawah. Ntah perasaan apa yang disisipkan lirik barusan. Tapi yang aneh, rentetan kemungkinan itu bisa lebih panjang dari sebuah kebetulan. Itu membuatnya kesal. Karena itu bukan lagu untuk seseorang yang sudah lupa cara untuk hidup seperti dia... kan?

Ciel mendongak, memilih untuk menikmati langit sore lebih lama sebelum ia lupa. Selang beberapa detik kemudian ia merasakan seseorang menarik-narik lengan jaketnya,ketika menoleh ia menemukan salah seorang anak yang bermain di bak pasir tadi dihadapnnya, menyodorkan secarik kertas. Ciel menaikkan alis kirinya heran. “Ya?”

“Kakak yang memberiku permen tadi menyuruhku untuk memberikan ini padamu.” Jawab anak itu girang.
Ciel melirik saku celana anak itu yang menggembung. “Siapa?”

“Kakak yang memberiku permen tadi.”

Ciel tau jika ini dilanjutkan maka dia akan melewatkan makan malam, jadi dia mengambil kertas itu dan mengucapkan terima kasih.

Ia membuka lipatan kertas tersebut, dan alisnya langsung menukik tajam. Hanya tertulis alamat sebuah situs, tanpa keterangan lain, nama pengirim pun tidak ada. Kemudian ia mengedarkan pandangan ke penjuru taman mencari seseorang yang terlihat seperti ‘Kakak yang memberiku permen tadi’.

Seketika matanya tertambat pada seorang pemuda yang duduk bertopang dagu di ayunan. Memandanginya. Pemuda itu mengenakan seragam sekolah yang sama seperti dia, lebih parah lagi, Ciel tau orang itu. “Alois.” Desisnya pelan. Tidak seperti yang ia duga, pemuda itu tidak lari. Lebih seperti Alois menunggu Ciel untuk menyadari kehadirannya.

“YO!!” Alois menyahut. Ia memperhatikan Ciel yang berjalan mendekat.

Ciel menyodorkan kertas itu di depan wajah Alois. “Apa yang kau ingin aku lakukan dengan benda ini?” tembaknya tanpa membidik.

Alois masih menyunggingkan senyum. “Apa yang membuatmu berpikir kalau kertas itu dariku?”

“Dengan wajah seperti itu siapa yang tidak tau?”

Alois terkekeh konyol. “Aku ingin kau membuka situs itu, membaca beberapa artikel, dan hidup.”

Ciel masih menatap dingin pemuda blonde di depannya, memberikan tatapan tidak peduli. “Ada lagi yang lebih tidak menarik?”

“Aku hanya ingin membantu.” Jawab Alois mengangkat bahu.

Wajah Ciel mengkerut heran. “Well, aku tidak mengerti apa yang kau katakan, tapi..” dia lipat kertas itu dan meletakkannya di tangan Alois. “terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk peduli. Bye.”  

Okay then, jangan lupa tugas geografi untuk lusa.”

~*~

Ciel duduk mematung di kursi belajarnya. Apa-apaan ini?  Dia menatap nanar secarik kertas yang sangat ia yakini disisipkan Alois saat membagikan buku latihan geografi tadi siang. Kertas dengan isi pesan yang sama. Apa masalah anak itu? Kenal saja tidak, aku cuma tau namanya, itupun karena satu dan lain hal. Ya, terkadang dia merasa dipaksa untuk tau siapa saja orang-orang yang suka cari perhatian di kelas.  

Ciel membaca tulisan di kertas itu dalam hati. Berulang-ulang. Hanya untuk memastikan kalau alamat situs yang tertulis di sana bukan sebuah anagram, ambigram atau semacamnya, karena dia masih belum bisa menemukan korelasi antara membuka sebuah situs yang ada di dunia maya dan hidup. Dua dunia yang notabene saling memunggungi satu sama lain.  Kemudian dia membaca post-script yang ada di pojok kiri bawah,

“Tidakkah kau ingin hidup, Pangeran Es?”

Ciel mendengus geli. Dia benci jenis manusia semacam ini. Manusia yang sakau akan masalah hingga merasa berwenang untuk ikut mencampuri masalah orang lain, manusia yang melihat hidupnya sudah tertata rapi dengan susunan alfabetis. Dia tidak mempermasalahkan jika ada orang yang peduli dengan hidupnya, mengagumi, menginginkan, atau bahkan mengasihani, itu urusan mereka, selama mereka sadar ada di teritorium mana mereka berdiri. Tapi jika mereka merasa kelebihan nyali dan memilih untuk menyalurkannya dengan melewati garis imajiner yang sudah dia bentangkan, oh jangan khawatir, dia punya dinding kasat mata yang terbuat dari titanium.

“Kemana kamu tadi?” Ciel terlonjak hebat saat sebuah suara dingin tiba-tiba bergaung tanpa izin mengisi ruang segiempat itu. Dia menoleh cepat kearah pintu, agaknya monolog di dalam kepalanya terlalu egois menyumbat perhatian hingga dia tidak sadar seseorang sudah berdiri di ambang pintu sejak 2 menit lalu.

Pemuda tanggung itu merasakan nafasnya memburu. Entah karena dia benar-benar terkejut atau karena momen ini akhirnya benar-benar datang, momen dimana dia akan berbincang dengan orang yang sangat ingin ia ajak bicara. Oh, itu dua hal yang sama. “Ayah, lain kali ketok pintu dulu, oke? Itu tidak menyakitkan, kok.” Ujarnya seraya memutar kursi belajar hingga berhadapan dengan laki-laki di ambang pintu. Tersenyum. Dan dia tidak menyadari itu, ekspektasi melelehkan kesadarannya.

“Kemana kamu tadi?”

Senyumnya luntur perlahan. Suara dingin ayahnya kembali membuat dia amnesia cara untuk tersenyum. “Hanya jalan-jalan sore di taman dekat sekolah.” Ujarnya canggung. Atmosfir di ruang itu mendadak berat, seperti ada hantu yang dengan sengaja menjatuhkan gunung es di sana. Memaksanya bangun.

“Harus aku ingatkan lagi tentang keluar rumah tanpa izin?”

Ciel merasakan duri. Otot di sekitar rahangnya menegang tak karuan. Jantungnya serasa diremas godam. Tidak adakah yang sadar kalau mansion yang dia tempati selama yang dia ingat itu adalah rumah, bukan penjara? Dan tidak adakah yang ingat kalau hubungan darah yang dia jalin dengan ayahnya adalah ‘Keluarga’, bukan peliharaan dan master? Mungkin bila alam bawah sadar bisa menciptakan sekompi polisi, dia sudah dipenjara sekarang. Karena mentalnya sedang menghancurkan dinding, melempar kursi, dan membunuh orang. Menggila.

Nafasnya tak kunjung normal, ini bukan momen bincang-bincang yang ia impikan. “Lalu kenapa tidak tanamkan saja cip dalam tubuhku dan program ulang otakku seperti yang ayah inginkan? Ayah ingin punya mainan robot, kan?” ujar Ciel setenang mungkin, walau suaranya bergetar karena berusaha menahan marah dan tekanan hidrolis di matanya. “Apakah tiap detik 16 tahunku selama ini tidak cukup untuk jadi jaminan 30 menit menikmati dunia luar dengan nyaman, ayah?” Dia sudah sampai pada batas untuk menyimpan emosi itu sendirian, emosi yang setiap detik terbersit di ingatannya akan memutilasi tiap jengkal kesabaran.

Lelaki di ambang pintu itu tercenung. Mimik wajahnya tak terdeskripsi.

Pemuda di kursi belajar itu menatap tajam. Dia marah.

Sekawanan hantu sedang memahat balok es di antara mereka dengan diam.

“Jangan lakukan itu lagi.”

“Kenapa?”

“Semua itu untuk kebaikanmu.”

“Apa ayah pikir aku baik-baik saja selama ini?”

“Ya.”

“... ayah, apa salahku?“

“Itu salahmu, kau tidak salah apa-apa. Sekarang tidurlah.” Laki-laki itu sudah akan menutup pintu.

“Tunggu!” Ciel berdiri. “AKU HANYA BUTUH ALASAN!!”

“Kau tidak akan mengerti.”

Bam!

Sakit yang teramat seketika menggerayangi dadanya. Serasa menelan granat aktif, mengikat setiap sarafnya dengan perih. Ciel terduduk lunglai di kursi belajar. Pikiran dan hatinya berkejar-kejaran tanpa arah. Dia merasa kacau. Berantakan.

Pertanyaan ini sering kali mengetuk kesadannya, mendobrak masuk saat dia tidak ingin peduli, mengobrak-abrik hati dan mengurungnya di ruang vakum tanpa tau harus berbuat apa.

Kenapa aku punya perasaan?

Ciel memutar kursi belajar, kembali menghadap jendela yang menyiarkan saluran monokrom langit malam yang di penuhi bintang, alcohol untuk luka di hatinya yang masih segar karena sayatan barusan. Menjadi ‘pangeran’ dari seorang presiden direketur sebuah perusahaan electronic cash smart cards terbesar di dunia tidak menjadikan hidupnya berarti. Tidak dapat di pungkiri dia memang punya segalanya yang dia inginkan. Apapun, termasuk kekosongan.

Dia hampir tidak pernah berbicara dengan ayahnya, baik langsung maupun tidak langsung. Jika ada pesta atau acara yang mengundang partner bisnis ayahnya, Tanaka akan membawanya ke vila tersemubunyi di tengah hutan dua hari sebelum pesta itu diadakan. Nama belakangnya adalah Durless, nama keluarga ibunya. Dia tidak dibolehkan pergi keluar mansion, kecuali mendesak dan di kawal. Ini adalah tahun pertama sekaligus terakhirnya di SMA, setelah beberapa tahun yang lalu hanya mendapat asupan ilmu lewat home-schooling, ini mungkin kado paling indah yang ayahnya pernah berikan. Selama ini Ciel berusaha menghibur dirinya sendiri dengan memandangi foto ibunya. Wanita yang menukar hidupnya untuk dia.
Ayahnya benar, dia tidak akan mengerti. Dan dia mati. Hidupnya terlalu absurd untuk dunia yang terlalu normal.

Pandangannya mulai mengabur. Ciel segera mendongak memperhatikan langit-langit kamar, untuk mencegah bendungan di matanya bocor. Dan tak butuh waktu lama untuk menyerah, kristal-kristal di hatinya meleleh keluar bersama isakan pelan. Dadanya naik-turun berdesakan dengan paru-paru yang haus akan udara. Ciel benci dirinya yang tidak lagi naif, dia benci karena terlalu peduli dengan hidup hingga membuat perasaanya hampir mati lumpuh. Tangan kirinya mencengkram kertas yang diberikan Alois, dia bahkan tidak menyadari kertas itu masih berada di tangannya. Dengan lemah Ciel mengangkat kertas tersebut dengan kedua tangan hingga sejajar dengan matanya, membaca ulang tulisan yang ada di sana.
Hidup. Bisiknya dalam hati. Menyesapi makna yang terkandung lamat-lamat. Menjinakkan nafasnya bersamaan.

Perlahan Ciel menegakkan kepala, dan pandangannya langsung jatuh pada sosok wanita yang terperangkap dalam pigura foto di sudut meja belajar, sedang tersenyum. Lama dia pandangi sosok itu, hampir tidak ada kenangan yang bisa dia ingat tentang ibunya. Tapi dia merasakan hangat, hangat yang seakan kekal, merayap membungkus seluruh inti atomnya. Dia beralih ke jendela, bulan yang tadi bersembunyi kini sudah menampakkan kilatan sempurnanya, utuh. Dia merasakan Deja vu, seperti pernah melihat bulan dengan daya hipnotis seperti itu di suatu waktu.

Ciel tertegun meresapi setiap koneksi yang terlalu tiba-tiba ini. Dan ketika sadar, dia sedang memandangi laptop di depannya. Ciel mendengus takjub setengah ngeri. Tuhan sedang berkonspirasi, huh?.

Dibukanya benda persegi panjang itu dan menekan tombol power. Setelah selesai proses booting, Ciel langsung menghubungkannya dengan koneksi wireless, membuka browser dan langsung membubuhkan alamat situs yang ada di tangannya ke adress bar. Setelah halaman situs itu terbuka sempurna, yang dia temukan hanya halaman dengan background galaksi bimasakti dan tulisan ini:  
          
Selamat Datang Di Kosmos
Tempat ini hanya untuk kalian yang siap menjadi Supernova dan Hidup.

Jika dunia nyata yang kasat pada mata hati ini disingkap selaput arinya, maka yang ada hanya sebuah kotak mainan berbasis nirkabel. Bila disingkap selaput intinya, akan ada rangkain sirkuit Mahakompleks. Penghubungnya, manusia. Makhluk dengan organ super yang mampu menampung informasi sebanyak ratusan buku ensiklopedia, dan selalu berantakan bila menyelami dirinya sendiri. Makhluk yang sangat peka bila saraf ingin taunya digelitik, dan selalu menepis pintu keluar dihadapannya saat tersandung. Kemudian tanpa sadar dirinya diisi dengan kekosongan, menemukan sudut vakum di lingkaran hidupnya. Lalu yang terlihat jelas adalah berusaha untuk tetap hidup di dalam jiwa yang mati.

Manusia, makhluk unik ini, setiap dari mereka memiliki galaksi masing-masing, dan masing-masing dari mereka adalah bagian dari galaksi manusia lain. Jati dirinya adalah bintang paling besar, bisa kita istilahkan sebagai The Core, meteorit adalah manusia yang melintas di orbit galaksi manusia lain, tidak memiliki ikatan yang terlalu solid, dia datang, pergi, tinggal, menghiasi orbit, atau mungkin bersifat destruktif, sedangkan planet adalah jalan menuju The Core itu sendiri. Yang menjadi fokus di Kosmos adalah Nebula. Ya, hanya gumpalan kabut. Tapi dia mengajarkan bagaimana suatu galaksi baru dapat tercipta saat pergerakan bintang keluar dari sistem. Debu, gas, dan plasma adalah substansi inti dari rangkaian pola takdir manusia. Supernova adalah ledakan awal kelahiran menuju wahana serba bendaan dan serba sementara. Menciptakan galaksi, lautan kompleksitas akan kebenaran, menguraikan orbit yang akan menuntun jati diri menemukan poros yang sebenarnya dan menikmati dinginnya ironi dunia.

Kosmos adalah taman bermain. Tempat galaksi-galaksi bersilangan. Tempat menemukan Bintang Utara bersama, dan mencapai titik balik.

Kosmos adalah arena perjudian. Tempat mempertaruhkan kebenaran. Karena setelah keluar dari sistem, fase kedua adalah Nebula, substansinya bergesekan, apabila The Core mampu menemukan Bintang Utara, maka dia akan jadi galaksi baru, apabila dia tersesat, maka hanya akan ada gumpalan kabut tak bernyawa.

Kosmos menyediakan oase untuk dahaga keingintauan. Habiskan energi The Core. Biarkan dirimu runtuh dalam medan gravitasi.

Dan Meledaklah untuk Hidup.

Ciel kembali tertegun, kali ini untuk menikmati letupan aneh di dadanya. Seperti ada yang memantik korek api kemudian memecut dirinya untuk segera mencari bensin. Harapan itu ada, hanya dibutuhkan secuil keberanian lagi untuk bisa merasakannya. Ciel melirik ke sudut kanan atas halaman dan menemukan tulisan Sign In, tak butuh lama berpikir, dia sudah muak untuk mati.

A/n: selalu begini, mungkin gak bakal lanjut =__=

Label: , ,