Chapter 1: Cyber Avatar
Dinding ruang kelas itu bermandi sinar jingga matahari
sore, meledakkan setiap jengkalnya dengan semburat siluet di kursi, meja,
tirai, dua orang yang berhadapan. Sudah lewat satu jam sejak bel panjang pulang
sekolah berbunyi , dan sudah lewat 15 menit sejak murid terakhir meninggalkan
kelas, mereka berdua masih meregang diam. Hanya terdengar satu notasi yang
diketuk berulang-ulang, bahkan volumenya mengalahkan suara jarum jam yang
sedang berdansa waltz.
Ba-dump
Ba-dump Ba-dump Ba-dump
“Ciel... aku menyukaimu!”
Tatapannya dingin. Masih dan selalu. Tanpa ekspektasi pun
harinya akan selalu menyajikan hidangan yang sama. Apa yang lebih menyiksa
daripada melahap lelucon basi?
Satu-satunya yang mencairkan tatapan dingin itu adalah
sebuah helaan napas panjang. Betapa dia tidak tahan lagi untuk segera menyerah.
“Ciel?”
“Uhh... Siapa nama mu tadi?”
“Gabrielle.”
“Ya, maafkan aku, tapi aku mau pulang.”
“Tunggu! Jadi jawabanmu apa?”
Ciel menatap gadis di depannya lekat-lekat, rambut ikal
sewarna madu yang di gerai begitu saja, poninya ditata rapi membingkai wajah
yang baru didempul ulang beberapa menit lalu, mata bulat ber-kontak lens biru, bando
berpita renda menghiasi puncak kepalanya, dia gadis ke-16 untuk bulan ini dan
yang kesekian untuk semester ini. Oh, dunia.
“Apa kau sudah punya seseorang yang kau sukai?” tanya
Gabrielle malu-malu, matanya mengintip dari sela poni.
“Kira-kira begitu.”
“... tidak apa-apa, aku mau jadi pacar simpanan mu!”
“Itu tidak lucu.”
“Umm?”
“But, you know what?” Ciel tersenyum manis. “ We’re the
same.”
“Benarkah?”
“Yeah, because I love myself too.” Gabrielle terlihat
sangat terkejut dengan ucapan itu. “Case closed. Kau sudah membuang-buang waktu
butlerku. Sampai jumpa!” Pemuda tanggung itu menggeleng pasrah dan berjalan
keluar kelas.
“Ciel, tunggu!!”
Ia berhenti, mata gletsernya terpancang pada Gabrielle. “Was that doesn’t clear enough for you? You’re
rejected.” Sambungnya datar.
“Kenapa?!”
Ciel tersenyum. “Kau semestinya harus lebih sering
mendandani pikiranmu juga.” dia sudah akan beranjak. “Kau membosankan.”
“Tapi—”
“Bye!” kali ini dia benar-benar tidak akan berbalik,
tidak akan, walau gadis itu berubah menjadi Mystique
sambil melambai-lambaikan dvd game Skyrim dan Final Fantasy versus 13. Well,
mungkin Ciel bisa berubah pikiran, tapi dia benar-benar tidak peduli sekarang. Pemuda
tampan dengan rambut biru-keabuan itu masih bisa mendengar sisa-sisa suara
gadis manis tadi meneriakkan namanya saat dia berbelok di koridor. Namun dia
justru mempercepat langkah, sudah banyak waktu yang terbunuh sia-sia sore ini.
Tepat di depan gerbang sekolah, bertengger sebuah White Chrysler 300 Limousine mengkilap, di dekatnya berdiri seorang
butler dengan sikap sempurna. Ciel menggeram pelan melihat pemandangan itu dan
berjalan mendekat dengan kesal.
“Serius, Tanaka?” cetus Ciel setelah sampai di hadapan
butlernya. “Kau mau membuatku terlihat kampungan? Kemana SLS AMG yang biasa?”
ceracau pemuda itu kalap, mendadak citra pangeran es-nya meleleh. Walau sudah tidak
ada lagi murid yang berkeliaran di sana, tetap saja, dia merasa dipermalukan.
Butler yang disebutnya sebagai Tanaka itu membungkuk dengan
tangan kanan di dada kiri, “I deeply apologize, Young Master. Delahaye 165 Cabriolate dan Mercedes Benz SLS AMG sedang dalam
perjalanan untuk acara Car Exhibit di
Scotland selama seminggu kedepan, sedangkan Ford
Focus sedang digunakan oleh Tuan besar.” Jelas sang butler.
Mata safir itu membulat seketika. “Apa?! Maksudmu selama seminggu
kedepan aku harus naik benda norak ini kesekolah?” Sahut Ciel takjub.
“I’m afraid, yes, Young Master.” Ujar Tanaka sambil
membuka pintu Limo mewah itu, mempersilahkan Tuan Mudanya masuk.
“Kenapa bukan ayah saja yang memakai benda ini?!” Ciel
menggeram frustasi. “Terserah! Aku naik sepeda besok!” Kemudian ia mengeluarkan
earphone dan jaket hoodie dari tas
sebelum melemparkan tasnya ke dalam Limo dan berbalik meninggalkan Sang Butler.
“Tuan Muda?!” panggil Tanaka terheran-heran.
Ciel berhenti untuk mengenakan jaket, kemudian
mengeluarkan ipod touch-nya,“Aku mau jalan-jalan sebentar. Kau pulanglah,
pastikan ayah tidak mengirim orang aneh untuk mengawasiku.” Ciel menggerutu seraya menghubungkan earphone pada port yang tersedia. Perhatiannya
kembali pada Sang Butler, lalu tersenyum, “Sampai jumpa, Tanaka.”
Tanaka sudah akan memprotes keputusan tiba-tiba Ciel
tersebut, namun dia urungkan niatnya, lantas dia membungkuk menghadap punggung
Tuan Mudanya yang sudah berjalan menjauh. “Yes, Young Master.” kemudian kembali
pada posisi sempurna. “ Pastikan anda tidak melewatkan makan malam.” ia
benamkan kalimat itu bersama helaan nafas . Dari kejauhan tampak Ciel
mengacungkan jempol kiri tanpa berbalik, hal itu membuat Tanaka agak lega, walau
dia sedikit takjub Ciel bisa mendengar ucapannya dari jarak 5 meter.
Tanaka masih memperhatikan Tuan Mudanya yang sedang
menyumbat telinga dengan earphone di
kejauhan, sampai bayangan itu menciut pergi di kelokan. Tanaka masih memikirkan
sebuah alasan.
~*~
Ia sedang ingin berandai-andai. Karena langit sore itu
sangat serasi dengan bumi yang berselimut guguran daun mapple yang ia pijak sekarang. Karena sandaran bangku taman tak
pernah senyaman itu sebelumnya. Karena sekarang pikirannya bisa beristirahat
tanpa harus tidur dulu, dan karena perasaannya telah dipukul telak oleh gelak
tawa anak-anak yang sedang bermain di bak pasir. Ciel hampir lupa sensasi ini
pernah ada.
Ia sedang berandai-andai. Andai saja hidupnya mengalami
distorsi seindah ini. Andai partikel-partikel yang menyusun cerita hidupnya
bermutasi seindah ini. Andai ia bisa menikmati hidupnya sebebas ini. Andai
kehangatan ini bisa ia bawa pulang dan ia tunjukkan pada orang tuanya. Andai
keindahan ini bisa ia rekatkan pada dinding kamar memorinya. Andai Waktu mengambil
cuti dan istirahat di kursi statis sejenak agar dia bisa menikmati momen ini
lebih lama. Oh, betapa dia benci duel ekspektasi dan realita ini.
Hentakan musik masih merayap naik melalui serat kabel
yang terhubung pada ipod silver itu. Menabuh
gendang telinganya dengan lembut, menampar kesadarannya dengan lirik-lirik
bersarung tinju.
No
matter what I do, when I’m alone at night, I become even unable to understand
myself.
Ciel memanyunkan bibir. Merasa agak terhibur dengan
kebetulan itu.
I don’t
care how things turn out, and I don’t care if I’ll look uncool. I will desperately
try to change my future. Even if I’m told that my destiny is immuteable no
matter what I do, I myself can still change, and I will prove to you that I can
change myself.
Kali ini ia menggigit bibir bawah. Ntah perasaan apa yang
disisipkan lirik barusan. Tapi yang aneh, rentetan kemungkinan itu bisa lebih
panjang dari sebuah kebetulan. Itu membuatnya kesal. Karena itu bukan lagu
untuk seseorang yang sudah lupa cara untuk hidup seperti dia... kan?
Ciel mendongak, memilih untuk menikmati langit sore lebih
lama sebelum ia lupa. Selang beberapa detik kemudian ia merasakan seseorang menarik-narik
lengan jaketnya,ketika menoleh ia menemukan salah seorang anak yang bermain di
bak pasir tadi dihadapnnya, menyodorkan secarik kertas. Ciel menaikkan alis
kirinya heran. “Ya?”
“Kakak yang memberiku permen tadi menyuruhku untuk
memberikan ini padamu.” Jawab anak itu girang.
Ciel melirik saku celana anak itu yang menggembung. “Siapa?”
“Kakak yang memberiku permen tadi.”
Ciel tau jika ini dilanjutkan maka dia akan melewatkan
makan malam, jadi dia mengambil kertas itu dan mengucapkan terima kasih.
Ia membuka lipatan kertas tersebut, dan alisnya langsung
menukik tajam. Hanya tertulis alamat sebuah situs, tanpa keterangan lain, nama
pengirim pun tidak ada. Kemudian ia mengedarkan pandangan ke penjuru taman
mencari seseorang yang terlihat seperti ‘Kakak yang memberiku permen tadi’.
Seketika matanya tertambat pada seorang pemuda yang duduk
bertopang dagu di ayunan. Memandanginya. Pemuda itu mengenakan seragam sekolah
yang sama seperti dia, lebih parah lagi, Ciel tau orang itu. “Alois.” Desisnya
pelan. Tidak seperti yang ia duga, pemuda itu tidak lari. Lebih seperti Alois
menunggu Ciel untuk menyadari kehadirannya.
“YO!!” Alois menyahut. Ia memperhatikan Ciel yang berjalan
mendekat.
Ciel menyodorkan kertas itu di depan wajah Alois. “Apa
yang kau ingin aku lakukan dengan benda ini?” tembaknya tanpa membidik.
Alois masih menyunggingkan senyum. “Apa yang membuatmu
berpikir kalau kertas itu dariku?”
“Dengan wajah seperti itu siapa yang tidak tau?”
Alois terkekeh konyol. “Aku ingin kau membuka situs itu,
membaca beberapa artikel, dan hidup.”
Ciel masih menatap dingin pemuda blonde di depannya, memberikan tatapan tidak peduli. “Ada lagi yang
lebih tidak menarik?”
“Aku hanya ingin membantu.” Jawab Alois mengangkat bahu.
Wajah Ciel mengkerut heran. “Well, aku tidak mengerti apa yang kau katakan, tapi..” dia lipat
kertas itu dan meletakkannya di tangan Alois. “terima kasih sudah meluangkan
waktumu untuk peduli. Bye.”
“Okay then, jangan
lupa tugas geografi untuk lusa.”
~*~
Ciel duduk mematung di kursi belajarnya. Apa-apaan ini? Dia menatap nanar secarik kertas yang sangat
ia yakini disisipkan Alois saat membagikan buku latihan geografi tadi siang.
Kertas dengan isi pesan yang sama. Apa
masalah anak itu? Kenal saja tidak, aku cuma tau namanya, itupun karena satu
dan lain hal. Ya, terkadang dia merasa dipaksa untuk tau siapa saja
orang-orang yang suka cari perhatian di kelas.
Ciel membaca tulisan di kertas itu dalam hati.
Berulang-ulang. Hanya untuk memastikan kalau alamat situs yang tertulis di sana
bukan sebuah anagram, ambigram atau semacamnya, karena dia masih belum bisa
menemukan korelasi antara membuka sebuah situs yang ada di dunia maya dan hidup.
Dua dunia yang notabene saling memunggungi satu sama lain. Kemudian dia membaca post-script yang ada di
pojok kiri bawah,
“Tidakkah kau ingin hidup, Pangeran Es?”
Ciel mendengus geli. Dia benci jenis manusia semacam ini.
Manusia yang sakau akan masalah hingga merasa berwenang untuk ikut mencampuri
masalah orang lain, manusia yang melihat hidupnya sudah tertata rapi dengan
susunan alfabetis. Dia tidak mempermasalahkan jika ada orang yang peduli dengan
hidupnya, mengagumi, menginginkan, atau bahkan mengasihani, itu urusan mereka,
selama mereka sadar ada di teritorium mana mereka berdiri. Tapi jika mereka
merasa kelebihan nyali dan memilih untuk menyalurkannya dengan melewati garis
imajiner yang sudah dia bentangkan, oh jangan khawatir, dia punya dinding kasat
mata yang terbuat dari titanium.
“Kemana kamu tadi?” Ciel terlonjak hebat saat sebuah
suara dingin tiba-tiba bergaung tanpa izin mengisi ruang segiempat itu. Dia
menoleh cepat kearah pintu, agaknya monolog di dalam kepalanya terlalu egois
menyumbat perhatian hingga dia tidak sadar seseorang sudah berdiri di ambang
pintu sejak 2 menit lalu.
Pemuda tanggung itu merasakan nafasnya memburu. Entah karena
dia benar-benar terkejut atau karena momen ini akhirnya benar-benar datang,
momen dimana dia akan berbincang dengan orang yang sangat ingin ia ajak bicara.
Oh, itu dua hal yang sama. “Ayah, lain kali ketok pintu dulu, oke? Itu tidak
menyakitkan, kok.” Ujarnya seraya memutar kursi belajar hingga berhadapan
dengan laki-laki di ambang pintu. Tersenyum. Dan dia tidak menyadari itu, ekspektasi
melelehkan kesadarannya.
“Kemana kamu tadi?”
Senyumnya luntur perlahan. Suara dingin ayahnya kembali
membuat dia amnesia cara untuk tersenyum. “Hanya jalan-jalan sore di taman
dekat sekolah.” Ujarnya canggung. Atmosfir di ruang itu mendadak berat, seperti
ada hantu yang dengan sengaja menjatuhkan gunung es di sana. Memaksanya bangun.
“Harus aku ingatkan lagi tentang keluar rumah tanpa
izin?”
Ciel merasakan duri. Otot di sekitar rahangnya menegang
tak karuan. Jantungnya serasa diremas godam. Tidak adakah yang sadar kalau
mansion yang dia tempati selama yang dia ingat itu adalah rumah, bukan penjara?
Dan tidak adakah yang ingat kalau hubungan darah yang dia jalin dengan ayahnya
adalah ‘Keluarga’, bukan peliharaan dan master? Mungkin bila alam bawah sadar
bisa menciptakan sekompi polisi, dia sudah dipenjara sekarang. Karena mentalnya
sedang menghancurkan dinding, melempar kursi, dan membunuh orang. Menggila.
Nafasnya tak kunjung normal, ini bukan momen
bincang-bincang yang ia impikan. “Lalu kenapa tidak tanamkan saja cip dalam
tubuhku dan program ulang otakku seperti yang ayah inginkan? Ayah ingin punya
mainan robot, kan?” ujar Ciel setenang mungkin, walau suaranya bergetar karena
berusaha menahan marah dan tekanan hidrolis di matanya. “Apakah tiap detik 16
tahunku selama ini tidak cukup untuk jadi jaminan 30 menit menikmati dunia luar
dengan nyaman, ayah?” Dia sudah sampai pada batas untuk menyimpan emosi itu
sendirian, emosi yang setiap detik terbersit di ingatannya akan memutilasi tiap
jengkal kesabaran.
Lelaki di ambang pintu itu tercenung. Mimik wajahnya tak
terdeskripsi.
Pemuda di kursi belajar itu menatap tajam. Dia marah.
Sekawanan hantu sedang memahat balok es di antara mereka
dengan diam.
“Jangan lakukan itu lagi.”
“Kenapa?”
“Semua itu untuk kebaikanmu.”
“Apa ayah pikir aku baik-baik saja selama ini?”
“Ya.”
“... ayah, apa salahku?“
“Itu salahmu, kau tidak salah apa-apa. Sekarang
tidurlah.” Laki-laki itu sudah akan menutup pintu.
“Tunggu!” Ciel berdiri. “AKU HANYA BUTUH ALASAN!!”
“Kau tidak akan mengerti.”
Bam!
Sakit yang teramat seketika menggerayangi dadanya. Serasa
menelan granat aktif, mengikat setiap sarafnya dengan perih. Ciel terduduk
lunglai di kursi belajar. Pikiran dan hatinya berkejar-kejaran tanpa arah. Dia merasa
kacau. Berantakan.
Pertanyaan ini sering kali mengetuk kesadannya, mendobrak
masuk saat dia tidak ingin peduli, mengobrak-abrik hati dan mengurungnya di
ruang vakum tanpa tau harus berbuat apa.
Kenapa
aku punya perasaan?
Ciel memutar kursi belajar, kembali menghadap jendela
yang menyiarkan saluran monokrom langit malam yang di penuhi bintang, alcohol
untuk luka di hatinya yang masih segar karena sayatan barusan. Menjadi
‘pangeran’ dari seorang presiden direketur sebuah perusahaan electronic cash smart cards terbesar di
dunia tidak menjadikan hidupnya berarti. Tidak dapat di pungkiri dia memang
punya segalanya yang dia inginkan. Apapun, termasuk kekosongan.
Dia hampir tidak pernah berbicara dengan ayahnya, baik
langsung maupun tidak langsung. Jika ada pesta atau acara yang mengundang
partner bisnis ayahnya, Tanaka akan membawanya ke vila tersemubunyi di tengah
hutan dua hari sebelum pesta itu diadakan. Nama belakangnya adalah Durless, nama keluarga ibunya. Dia tidak
dibolehkan pergi keluar mansion, kecuali mendesak dan di kawal. Ini adalah
tahun pertama sekaligus terakhirnya di SMA, setelah beberapa tahun yang lalu
hanya mendapat asupan ilmu lewat home-schooling,
ini mungkin kado paling indah yang ayahnya pernah berikan. Selama ini Ciel
berusaha menghibur dirinya sendiri dengan memandangi foto ibunya. Wanita yang
menukar hidupnya untuk dia.
Ayahnya benar, dia tidak akan mengerti. Dan dia mati. Hidupnya
terlalu absurd untuk dunia yang terlalu normal.
Pandangannya mulai mengabur. Ciel segera mendongak
memperhatikan langit-langit kamar, untuk mencegah bendungan di matanya bocor. Dan
tak butuh waktu lama untuk menyerah, kristal-kristal di hatinya meleleh keluar
bersama isakan pelan. Dadanya naik-turun berdesakan dengan paru-paru yang haus
akan udara. Ciel benci dirinya yang tidak lagi naif, dia benci karena terlalu
peduli dengan hidup hingga membuat perasaanya hampir mati lumpuh. Tangan
kirinya mencengkram kertas yang diberikan Alois, dia bahkan tidak menyadari
kertas itu masih berada di tangannya. Dengan lemah Ciel mengangkat kertas tersebut
dengan kedua tangan hingga sejajar dengan matanya, membaca ulang tulisan yang
ada di sana.
Hidup.
Bisiknya dalam hati. Menyesapi makna yang terkandung lamat-lamat. Menjinakkan
nafasnya bersamaan.
Perlahan Ciel menegakkan kepala, dan pandangannya
langsung jatuh pada sosok wanita yang terperangkap dalam pigura foto di sudut
meja belajar, sedang tersenyum. Lama dia pandangi sosok itu, hampir tidak ada
kenangan yang bisa dia ingat tentang ibunya. Tapi dia merasakan hangat, hangat
yang seakan kekal, merayap membungkus seluruh inti atomnya. Dia beralih ke
jendela, bulan yang tadi bersembunyi kini sudah menampakkan kilatan
sempurnanya, utuh. Dia merasakan Deja vu,
seperti pernah melihat bulan dengan daya hipnotis seperti itu di suatu
waktu.
Ciel tertegun meresapi setiap koneksi yang terlalu
tiba-tiba ini. Dan ketika sadar, dia sedang memandangi laptop di depannya. Ciel
mendengus takjub setengah ngeri. Tuhan
sedang berkonspirasi, huh?.
Dibukanya benda persegi panjang itu dan menekan tombol
power. Setelah selesai proses booting,
Ciel langsung menghubungkannya dengan koneksi wireless, membuka browser
dan langsung membubuhkan alamat situs yang ada di tangannya ke adress bar. Setelah halaman situs itu
terbuka sempurna, yang dia temukan hanya halaman dengan background galaksi
bimasakti dan tulisan ini:
Selamat
Datang Di Kosmos
Tempat
ini hanya untuk kalian yang siap menjadi Supernova dan Hidup.
Jika dunia nyata
yang kasat pada mata hati ini disingkap selaput arinya, maka yang ada hanya
sebuah kotak mainan berbasis nirkabel. Bila disingkap selaput intinya, akan ada
rangkain sirkuit Mahakompleks. Penghubungnya, manusia. Makhluk dengan organ
super yang mampu menampung informasi sebanyak ratusan buku ensiklopedia, dan
selalu berantakan bila menyelami dirinya sendiri. Makhluk yang sangat peka bila
saraf ingin taunya digelitik, dan selalu menepis pintu keluar dihadapannya saat
tersandung. Kemudian tanpa sadar dirinya diisi dengan kekosongan, menemukan
sudut vakum di lingkaran hidupnya. Lalu yang terlihat jelas adalah berusaha
untuk tetap hidup di dalam jiwa yang mati.
Manusia, makhluk
unik ini, setiap dari mereka memiliki galaksi masing-masing, dan masing-masing
dari mereka adalah bagian dari galaksi manusia lain. Jati dirinya adalah
bintang paling besar, bisa kita istilahkan sebagai The Core, meteorit adalah manusia yang melintas di orbit galaksi
manusia lain, tidak memiliki ikatan yang terlalu solid, dia datang, pergi, tinggal, menghiasi orbit, atau mungkin
bersifat destruktif, sedangkan planet adalah jalan menuju The Core itu sendiri. Yang menjadi fokus di Kosmos adalah Nebula.
Ya, hanya gumpalan kabut. Tapi dia mengajarkan bagaimana suatu galaksi baru
dapat tercipta saat pergerakan bintang keluar dari sistem. Debu, gas, dan
plasma adalah substansi inti dari rangkaian pola takdir manusia. Supernova
adalah ledakan awal kelahiran menuju wahana serba bendaan dan serba sementara. Menciptakan
galaksi, lautan kompleksitas akan kebenaran, menguraikan orbit yang akan
menuntun jati diri menemukan poros yang sebenarnya dan menikmati dinginnya
ironi dunia.
Kosmos adalah
taman bermain. Tempat galaksi-galaksi bersilangan. Tempat menemukan Bintang
Utara bersama, dan mencapai titik balik.
Kosmos adalah
arena perjudian. Tempat mempertaruhkan kebenaran. Karena setelah keluar dari
sistem, fase kedua adalah Nebula, substansinya bergesekan, apabila The Core mampu menemukan Bintang Utara,
maka dia akan jadi galaksi baru, apabila dia tersesat, maka hanya akan ada
gumpalan kabut tak bernyawa.
Kosmos
menyediakan oase untuk dahaga keingintauan. Habiskan energi The Core. Biarkan dirimu runtuh dalam
medan gravitasi.
Dan Meledaklah
untuk Hidup.
Ciel kembali tertegun, kali ini untuk menikmati letupan aneh di dadanya.
Seperti ada yang memantik korek api kemudian memecut dirinya untuk segera
mencari bensin. Harapan itu ada, hanya dibutuhkan secuil keberanian lagi untuk
bisa merasakannya. Ciel melirik ke sudut kanan atas halaman dan menemukan
tulisan Sign In, tak butuh lama
berpikir, dia sudah muak untuk mati.
A/n: selalu begini, mungkin gak bakal lanjut =__=